Listen Qur'an

Listen to Quran

Assalamu'alaikum

Selasa, 30 November 2010

Menjaga Lisan Dari Mengutuk atau Melaknat

بسم الله الرحمن الرحيم

Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyah

Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab :

Pertama : Bermakna mencerca.

Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.

Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu ‘anhu berkata :

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”

Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.

Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam KitabnyaAl Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)

Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.

Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhubahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.

Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :

Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)

Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena NabiShallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.

(Dikutip dari MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M Rubrik Akhlaq, MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyah. Terjemahan dari Kitab Nasihati lin Nisa’ karya Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil Al Wadi’iyyah dengan beberapa perubahan dan tambahan)

Sumber: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=16

Kamis, 18 November 2010

Jalan Terdekat Menuju Surga

Bismillahirrahmanirrahim
Surga…negeri indah yang jauh di mata, tapi setiap jiwa mengharapkannya. Ada yang berusaha sungguh-sungguh, ada pula yang jatuh bangun untuk mendapatkannya. Tapi…adapula yang putus asa, sehingga membiarkan dirinya tenggelam dalam kubangan dosa. Mengapa? Karena, ia merasa jalan ke surga itu sulit, melelahkan serta banyak rintangan.
Sungguh, wahai kawan yang hampir putus asa, atau telah berputus asa, dan kawan-kawan yang tak ingin berputus asa, telah ku dapati percakapan penuh nasehat dalam tulisan yang singkat, tentang jalan paling mudah dan dekat menuju surga…

Inilah percakapan yang ku maksud…

Si Fulan bertanya pada temannya,

“Wahai saudaraku tercinta! Apakah engkau menginginkan surga?”

Temannya menjawab,

“Siapakah dari kita yang tidak ingin masuk surga? Siapa di antara kita yang tak ingin mendapatkan kenikmatan yang kekal abadi? Dan siapakah di antara kita yang tak ingin merasakan kesenangan yang kekal, serta kelezatan-kelezatan yang terus menerus, yang tak kan lenyap dan tak pula terputus?”

Si Fulan berkata,

“Kalau begitu…maka mengapa engkau tak beramal shalih yang dapat menyampaikanmu ke surga?”

Temannya menjawab,

“Sesungguhnya jalan ke surga itu sulit, panjang, penuh rintangan dan duri. Sedangkan diriku ini lemah, tak dapat aku bersabar atas kesulitan dan kesusahan yang terdapat di jalan itu.”

Si Fulan berkata,

“Saudaraku…jika engkau merasa tidak dapat bersabar dalam mentaati perintah-perintah Allah, serta bersabar untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat selama di dunia, lalu bagaimana engkau akan bersabar jika nanti di akhirat engkau menjadi penghuni neraka Jahannam?! semoga Allah melindungi aku darinya.”

Temannya menjawab,

“Inilah yang mempengaruhiku dan menjadikanku bimbang dalam urusanku. Akan tetapi, aku tidak mengetahui apa yang harus kulakukan dan dari mana aku harus memulainya…. Dan sungguh aku telah terlanjur terjerumus ke jalan maksiat dan hal-hal yg diharamkan.”

Si Fulan berkata,

“Aku akan menunjukkan padamu jalan pintas yang akan menyampaikanmu ke surga. Dan jalan ini adalah jalan yang mudah, tidak ada kesulitan maupun usaha yang berat di dalamnya.”

Temannya berkata,

“Tunjukkan padaku jalan itu, semoga Allah merahmatimu. Sungguh aku selalu ingin memngetahui jalan yang mudah itu.”

Si Fulan berkata,

“Jalan yang dimudahkan ini, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Al-Fawaaid”, dimana beliau berkata,

’Marilah masuk ke surga Allah…serta berdekatan denganNya di Negeri Keselamatan…tanpa ada letih…tanpa ada kesulitan…dan tanpa ada susah payah…bahkan melalui jalan yang terdekat dan yang termudah…’

’Sesungguhnya, engkau saat ini sedang berada pada satu masa di antara dua masa…dan pada hakikatnya masa itu adalah umurmu…yaitu dimana saat ini engkau ada…di antara masa yang telah lalu dan masa yang akan datang…’

’Adapun masa yang telah lalu…maka ia diperbaiki dengan taubat, penyesalan serta permohonan ampun…dan itu bukanlah sesuatu yang sulit bagimu…serta tidak memerlukan amal-amal yang berat…karena sesungguhnya ia hanyalah amalan hati…’

’Dan pada masa yang akan datang…berusahalah menjauhi dosa-dosa…

dan usahamu untuk menjauhi dosa itu adalah hanya berupa usaha untuk meninggalkan dan bukanlah ia merupakan amalan anggota badan yang menyusahkanmu karena sesungguhnya ia hanyalah berupa kesungguhan serta niat yang kuat…yang akan menyenangkan jasadmu, hatimu serta rahasia-rahasiamu…’

“Apa yang terjadi pada masa lalu, diperbaiki dengan taubat…dan di masa mendatang diperbaiki dengan penghindaran (dari yang haram) dengan kesungguhan serta niat… dan tidak ada kesusahan bagi anggota tubuh atas dua usaha ini.”

“Akan tetapi, yang terpenting dalam masa kehidupanmu adalah masa di antara dua masa (yaitu dimana saat ini engkau berada). Jika engkau menyia-nyiakannya maka engkau telah menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesuksesanmu. Namun, jika engkau menjaganya dengan perbaikan dua masa, yaitu masa sebelum dan sesudahnya, dengan cara yang telah disebutkan…maka engkau akan selamat dan menang dengan mendapatkan kelapangan, kelezatan serta kenikmatan…”

Maka, inilah jalan ke surga yang mudah itu….

Bertaubat atas apa yang telah lalu kemudian beramal sholeh serta meninggalkan maksiat pada masa yang akan datang.

Si Fulan menambahkan,

Dan kusampaikan pula padamu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Setiap ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan!” maka shahabat bertanya, siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah? Nabi menjawab, “Siapa yang mentaatiku maka ia masuk surga dan siapa yang tidak taat padaku maka ialah yang enggan” (HR Al-Bukhari)

Dan juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,

“Surga itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian dibandingkan dekatnya tali sendalnya terhadapnya, demikian pula dengan neraka.” (Muttafaqun ‘alaih).

***

Diterjemahkan dari Buletin Aqrabuthariq Ilal Jannah, Edisi 131, Madarul Wathan, Riyadh, KSA oleh Tim Penerjemah Muslimah.or.id Murojaah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

***

Artikel muslimah.or.id

Muslimah Cantik, Bermahkota Rasa Malu



Muslimah cantik, menjadikan malu sebagai mahkota kemuliaannya…” (SMS dari seorang sahabat)

Membaca SMS di atas, mungkin pada sebagian orang menganggap biasa saja, sekedar sebait kalimat puitis. Namun ketika kita mau untuk merenunginya, sungguh terdapat makna yang begitu dalam. Ketika kita menyadari fitrah kita tercipta sebagai wanita, mahkluk terindah di dunia ini, kemudian Allah mengkaruniakan hidayah pada kita, maka inilah hal yang paling indah dalam hidup wanita. Namun sayang, banyak sebagian dari kita—kaum wanita—yang tidak menyadari betapa berharganya dirinya. Sehingga banyak dari kaum wanita merendahkan dirinya dengan menanggalkan rasa malu, sementara Allah telah menjadikan rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا ، وَإنَّ خُلُقَ الإسْلاَمِ الحَيَاء

“Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.”(HR. Ibnu Majah no. 4181. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,

الحَيَاءُ وَالإيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإنْ رُفِعَ أحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَر

“Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”(HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 1/73. Al Hakim mengatakan sesuai syarat Bukhari Muslim, begitu pula Adz Dzahabi)

Begitu jelas Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan teladan pada kita, bahwasanya rasa malu adalah identitas akhlaq Islam. Bahkan rasa malu tak terlepas dari iman dan sebaliknya. Terkhusus bagi seorang muslimah, rasa malu adalah mahkota kemuliaan bagi dirinya. Rasa malu yang ada pada dirinya adalah hal yang membuat dirinya terhormat dan dimuliakan.

Namun sayang, di zaman ini rasa malu pada wanita telah pudar, sehingga hakikat penciptaan wanita—yang seharusnya—menjadi perhiasan dunia dengan keshalihahannya, menjadi tak lagi bermakna. Di zaman ini wanita hanya dijadikan objek kesenangan nafsu. Hal seperti ini karena perilaku wanita itu sendiri yang seringkali berbangga diri dengan mengatasnamakan emansipasi, mereka meninggalkan rasa malu untuk bersaing dengan kaum pria.

Allah telah menetapkan fitrah wanita dan pria dengan perbedaan yang sangat signifikan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam akal dan tingkah laku. Bahkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 228 yang artinya; ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang sepatutnya’, Allah telah menetapkan hak bagi wanita sebagaimana mestinya. Tidak sekedar kewajiban yang dibebankan, namun hak wanita pun Allah sangat memperhatikan dengan menyesuaikan fitrah wanita itu sendiri. Sehingga ketika para wanita menyadari fitrahnya, maka dia akan paham bahwasanya rasa malu pun itu menjadi hak baginya. Setiap wanita, terlebih seorang muslimah, berhak menyandang rasa malu sebagai mahkota kemuliaannya.

Sayangnya, hanya sedikit wanita yang menyadari hal ini…

Di zaman ini justeru banyak wanita yang memilih mendapatkan mahkota ‘kehormatan’ dari ajang kontes-kontes yang mengekspos kecantikan para wanita. Tidak hanya sebatas kecantikan wajah, tapi juga kecantikan tubuh diobral demi sebuah mahkota ‘kehormatan’ yang terbuat dari emas permata. Para wanita berlomba-lomba mengikuti audisi putri-putri kecantikan, dari tingkat lokal sampai tingkat internasional. Hanya demi sebuah mahkota dari emas permata dan gelar ‘Miss Universe’ atau sejenisnya, mereka rela menelanjangi dirinya sekaligus menanggalkan rasa malu sebagai sebaik-baik mahkota di dirinya. Naudzubillah min dzaliik…

Apakah mereka tidak menyadari, kelak di hari tuanya ketika kecantikan fisik sudah memudar, atau bahkan ketika jasad telah menyatu dengan tanah, apakah yang bisa dibanggakan dari kecantikan itu? Ketika telah berada di alam kubur dan bertemu dengan malaikat yang akan bertanya tentang amal ibadah kita selama di dunia dengan penuh rasa malu karena telah menanggalkan mahkota kemuliaan yang hakiki semasa di dunia.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128) Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang adalah wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/191)

Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah radhiyyallahu ‘anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis, kemudian beliau berkata,

إن كنتن مؤمنات فليس هذا بلباس المؤمنات وإن كنتن غير مؤمنات فتمتعينه

“Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.” (disebutkan dalam Ghoyatul Marom (198). Syaikh Al Albani mengatakan, “Aku belum meneliti ulang sanadnya”)

Betapa pun Allah ketika menetapkan hijab yang sempurna bagi kaum wanita, itu adalah sebuah penjagaan tersendiri dari Allah kepada kita—kaum wanita—terhadap mahkota yang ada pada diri kita. Namun kenapa ketika Allah sendiri telah memberikan perlindungan kepada kita, justeru kita sendiri yang berlepas diri dari penjagaan itu sehingga mahkota kemuliaan kita pun hilang di telan zaman?

فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 13)

Wahai, muslimah…

Peliharalah rasa malu itu pada diri kita, sebagai sebaik-baik perhiasan kita sebagai wanita yang mulia dan dimuliakan. Sungguh, rasa malu itu lebih berharga jika kau bandingkan dengan mahkota yang terbuat dari emas permata, namun untuk mendapatkan (mahkota emas permata itu), kau harus menelanjangi dirimu di depan public.

Wahai saudariku muslimah…

Kembalilah ke jalan Rabb-mu dengan sepenuh kemuliaan, dengan rasa malu dikarenakan keimananmu pada Rabb-mu…

Jogja, Jumadil Ula 1431 H Penulis: Ummu Hasan ‘Abdillah Muroja’ah: Ust. Muhammad Abduh Tuasikal

Referensi: Yaa Binti; Ali Ath-Thanthawi Al Hijab; I’dad Darul Qasim

***

Artikel muslimah.or.id

Senin, 01 November 2010

Ketika orangtuamu, tak seperti yang kau damba….


Kutatap langit-langit kamar yang sunyi…..sungguh berbeda dengan kondisi di luar sana yang riuh ramai.
Sore ini, sore yang sama seperti sore sebelumnya,,,,
Sore…bertemankan butiran hujan yang tercurah dari langit bulan Febuari…

Butiran hujan, beradu dengan teriakan tetangga yang menyuruh anaknya mandi dan Jeritan sang anak yang menolaknya….adalah bagian dari sore ku dan sore mereka….
Tak pelak lagi pukulan, jeweran, dan cubitan, hinggap di tubuh mungil anak-anak mereka. Pemandangan yang sudah berakar dalam keseharian mereka
Namun aku lebih merasa gerah dengan kata-kata yang terlontar dari lisan sang orangtua.

Membuat muncul pertanyaan dalam otakku….”Inikah sosok seorang ibu…?”



Sedetik kemudian, pikiranku melayang ke peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat aku masih kuliah- mahasiswa tingkat akhir.

Ibu dosenku berdiri disana, menerangkan pada kami tentang pola asuh orangtua : pentingnya pengasuhan yang baik dan akibat dari pola asuh yang kurang baik.

Kemudian beliau berkisah tentang Hitler -seorang pemimpin paling ditakuti karena telah membunuh begitu banyak orang Yahudi-. yang ternyata menjadi seseorang yang demikian kerasnya, karena salah asuh dari orangtuanya. Sejak kecil, ia selalu dipukuli oleh ayahnya hanya karena kesalahan-kesalahan kecil.. Hingga suatu hari Hitler menemukan sebuah buku, yang mengatakan bahwa “orang yang kuat itu adalah orang yang tidak pernah meneteskan air mata”, dan ia pun bertekat untuk tidak akan pernah menangis lagi.

Bahkan ketika sang ayah, pada suatu saat, memukulinya lagi, ia datang ke ibunya dengan tersenyum bangga, dan berkata bahwa ayahnya telah memukulnya sebanyak 33 kali (lupa tepatnya berapa kali *senyum), hingga ibunya menyangka bahwa Hitler telah gila.
Hitler pada akhirnya tumbuh menjadi orang yang demikian keras. Di saat ia mengetahui bahwa ayahnya adalah anak hasil “perkawinan di luar nikah” antara neneknya dengan orang Yahudi. Hitler menjadi sangat benci pada orang Yahudi, dan membantai banyak kaum tersebut.

Kemudian ibu dosen pun bercerita kisah tokoh-tokoh lain, yang tumbuh menjadi manusia yang kejam, akibat salah asuh orang tua.

Kemudian entah kenapa, saat itu aku mengangkat jari tangan, dan bertanya dengan kekanak-kanakan….

Kukatakan pada ibu dosenku, “Ibu…entah mengapa saya merasa ini tidak adil…”,

Aku menarik nafas dan melanjutkan,

“ Ibu….dulu, sewaktu kita akan dilahirkan, kita tidak bisa memilih kan bu, kelak kita akan menjadi siapa, bagaimana rupa kita, kepandaian kita, rizki kita. Kita pun tidak bisa memilih siapa orangtua kita. Ya kan bu…

Alangkah kasiannya anak-anak yang lahir dari pengasuhan yang buruk, kemudian mereka akhirnya tumbuh menjadi anak-anak yang buruk, sedangkan mereka juga tidak ingin memiliki orangtua yang buruk. Semua anak pasti ingin memiliki orangtua yang sayang dan perhatian pada mereka. Semua orang pasti menginginkan orangtua yang memberikan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Hanya saja……..mereka tidak dapat memilih kan bu…Alangkah kasiannya mereka…..Apakah salah seorang anak, jika ternyata orangtua mereka seperti itu….?”

Ibu dosenku tersenyum mendengar pertanyaan aneh itu, kemudian ia menjawab dengan bijak. -Sebuah jawaban…yang sampai saat ini…masih kusimpan dalam benakku…-

“benar….benar sekali…
kita ini…memang tidak dapat memilih siapa orangtua kita, dan bagaimana mereka akan membesarkan kita. Dan memang pola asuh mereka memiliki andil yang cukup besar dalam kepribadian kita. Namun…coba lihatlah…..kita hidup bukan hanya dilingkungan keluarga saja bukan…?
Kita hidup dalam masyarakat. Kita hidup dalam lingkungan yang lain, selain lingkungan keluarga.
Ada banyak hal yang kemudian membentuk kepribadian kita.

Lagipula, coba lihat diri kalian sendiri…!. Kalian ini sudah besar, sudah mahasiswa…Kalian ini ingin menjadi siapa atau apa, itu bukan karena oranglain. Namun, karena kalian sendirilah yang menginginkannya.
Apakah hanya karena orangtua kalian mendidik kalian dengan buruk, lalu kalian menyandarkan diri pada kesalahan mereka, dan tetap menjadi anak dengan kepribadian buruk…?

Bukan saatnya lagi untuk menyalahkan orang lain atas kejadian yang kita alami.
Kalian sudah dewasa…sudah seharusnya mengambil langkah untuk hidup kita sendiri…
Lagipula, yakinlah, apa yang diberikan Dia adalah yang terbaik untuk kita…
Bisa saja kita mendapatkan orangtua yang baik, namun lingkungan sekitar kita buruk, dan kita mengambil jalan yang buruk, maka kita pun akan tersesat.
Dan mungkin saja, kita diberikan orangtua yang buruk, namun kita terus memperbaiki diri, maka kita pun akan mendapatkan kebaikan…”



Saat itu, aku sungguh belum mengerti mengenai pentingnya memahami tentang takdir. Bukankah memahami takdir yang telah digariskan oleh Allah dapat supaya hati kita menjadi tenang…?



kini…aku sadar…betapa tidak layaknya, apabila seseorang menyalahkan takdirnya….bersandar pada kesalahan orang lain…..mencari-cari alasan bahwa ia menjadi seperti ini karena orang lain.

Mungkin salah seseorang anak, akan memiliki orangtua yang buruk….
atau memiliki orangtua dengan pendidikan rendah,
atau merasa tidak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya,
atau merasa bahwa ia diperlakukan tidak adil
atau merasa bahwa ia memiliki masa kecil yang suram….
Atau ia sama sekali tidak bangga pada orangtuanya….bahkan merasa malu…

Kemudian ia beranggapan, bahwa ia yang sekarang ini….keburukan yang terjadi padanya, karakteristik sifatnya yang buruk ini, adalah akibat dari kesalahan orangtuanya.
Dan ia menjadi manusia yang memandang buruk masa lalunya….

Temanku…. Kami memahami kesedihanmu….
Memang benar, Orangtua mseharusnya menjadi seseorang yang paling dekat dengan kita….mengajari kita hal-hal yang positif….menerima kekurangan kita, membangun kepercayaan pada kita bahwa kita tidak sendirian…

Tapi disaat orangtua kita tidak seperti orangtua yang ideal, layakkah kita terus terkungkung pada hal tersebut….dan hanya menjadi pribadi yang diam, dan menyerah, serta menyandarkan diri pada kesalahan mereka…?

Apakah karena kesalahan didik orangtua kita….kurang kasih sayang…dan tidak pahamnya mereka tentang cara menjadi orangtua yang baik, lantas menjadikan kita demikian terpuruk……menjadikan kita terhempas….menjadikan kita pribadi dengan moral kalah…. bersembunyi pada kesalahan mereka, dan lari dari keharusan untuk bangkit….? Untuk memperbaiki diri….??

Apakah kita harus menjadi seseorang yang seperti itu….?

Akankah kita lari dari tanggung jawab kita untuk senantiasa memperbaiki diri….?

Temanku bukankah jika kita ingin menjadi orang yang lebih baik….itu kita lakukan bukan karena manusia…
Sungguh bukan karena manusia….
Kita tidak berubah menjadi orang yang lebih baik….hanya karena orangtua kita baik…atau bukan karena latar belakang kehidupan kita, tapi…karena mengharapkan pahala dari Allah…

Ibumu…ayahmu…adalah sama halnya dengan kamu…
Mereka pun manusia….
Memiliki kekurangan, disamping kelebihan….
Memiliki kesalahan….
Namun…jangan sampai kesalahan mereka, atau ketidaksukaanmu pada sikap mereka, mendorongmu untuk berbuat durhaka pada mereka….
Mendorongmu…untuk membenci mereka
Karena sikapmu yang seperti itu…tidak lain justru akan menjatuhkan dirimu sendiri dalam neraka…

Temanku…
yakinlah Allah Maha Adil…
Ia memberikan kalian kekurangan di satu sisi….InsyaAllah memberikan kelebihan kalian pada sisi yang lain….

Mungkin Allah meletakkan cobaan pada kalian dari sisi orangtua kalian…
Sedangkan teman-teman yang lain, diuji dengan jalan yang lainnya…

Tapi….temanku…Bukankah kesabaranmu…ketaatanmu dalam menghadapi ujian, adalah ladang pahalamu….?

Temanku…kehidupan itu tidak stagnan….kehidupan itu berubah….!!!
Betapa tak sedikit orang-orang yang lahir dari orangtua psikopat, akhirnya dapat bangkit dan menjadi sosok dewasa yang baik…?
Betapa tak sedikit orang-orang yang dibesarkan oleh lingkungan yang kumuh dan buruk, akhirnya dapat menjadi orang yang tegar dan shalih –atas ijin Allah…?

Temanku….ingatlah…bahwa Allah selalu bersamamu…cukuplah cintaNya menjadi tujuanmu…
Apabila engkau mengharap cinta dari manusia, mungkin engkau akan lebih banyak kecewa…disebabkan karena manusia pun adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan….

Temanku….mari sama-sama belajar bersamaku…bersama teman-teman yang lain…untuk senantiasa memperbaiki diri…
Sudah saatnya kita melihat diri kita sebagai diri yang mandiri….
Bukan saatnya terus merenungi masa lalu….
Bukankah masa lalu adalah hal yang paling jauh dari kita…? Kita tidak akan kembali padanya…? Jadi biarkanlah ia berlalu….

Sekarang…..yang lebih baik kita lakukan adalah….menjadikan masa lalu kita sebagai suatu pelajaran….
Jangan sampai kelak anak-anak kita mengalami hal yang sama dengan masa lalu kita…
Jadikan kesalahan dalam didikan orangtuamu padamu….sebagai kunci keberhasilan kita dalam mendidik anak….
Belajarlah…dan terus belajar tentang cara mendidik anak-anakmu kelak….
Buatlah anak-anak kita berkata dengan lantang, “aku bangga punya orangtua seperti ummi dan abi…”

Dengarlah kaum wanita….generasi ini tanggung jawabmu….!!!!!

Surat Untuk Zauji


Duhai Zauji, Jadilah Surga di taman hatiku…

"Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Furqoon:74)

”…DAN ORANG-ORANG YANG BERIMAN LEBIH MENCINTAI ALLAH TA’ALA… “

(QS. AL-BAQARAH :165)

Duhai Zauji, Jadilah Surga di Taman Hatiku

(Kupersembahkan untuk (calon) ZAUJI yang berjiwa hanif)

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalamu’alaykum warohmatulloohi wabarokaatuh,

Duhai Zauji..

Kupersembahkan sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang selalu kubaca disetiap kartu undangan yang selalu melayangkan pikiranku akhir-akhir ini. Hingga detik ini, aku senantiasa bertanya kapan namaku tercantum pada sebuah kartu undangan pernikahan? Siapa pula nama yang mengiringi namaku pada kartu undangan tersebut dalam rangka mitsaqon-gholizho (perjanjian yang sangat berat) itu?

Yaa Zauji, ketahuilah… ayat itu adalah : ”Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum : 21)

Tiada kata yang dapat kuucapkan atas karunia Allah Ta’ala hingga pada waktu yang tepat nanti aku akan menikah dengan orang pilihan Allah Ta’ala yang telah ditetapkan-Nya dalam kitab Lauh Mahfudz, kecuali syukur alhamdulillah untuk-Nya. Nikmat dan anugerah ini sungguh begitu agung.

Sesungguhnya, sudah aku jalani ”proses” dengan laki-laki lain, tapi ternyata Allah takdirkan engkau masih tersembunyi dibalik kuasa-Nya. Menanti dengan ikhtiar dan doa yang penuh kesabaran tuk menghadirkanmu dalam hidupku merupakan anugerah dalam hidupku diantara anugerah-anugerah lain yang Allah Ta’ala berikan kepadaku. Diberi-Nya aku kesempatan untuk lebih memperbaiki diri sebagai Muslimah hingga aku layak untuk kau jemput kelak sebagai bidadarimu. Karena Allah Ta’ala berjanji :

”Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)….” (QS. An-Nur :26)

Walloohi, aku mensyukuri hal itu karena aku yakin dengan selalu bersyukur Allah Ta’ala akan menambah kenikmatan yang telah Dia berikan, sebagaimana janji-Nya: ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat” (QS. Ibrohim : 7)

Subhanallooh! Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..

Sebagaimana disepakati oleh al-Bukhari muslim telah diriwayatkan, dimana Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda : “Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin itu. Allah tidak menetapkan suatu keputusan baginya melainkan keputusan itu adalah baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, maka ia akan bersabar, dan yang demikian itu lebih baik baginya. Jika mendapatkan kesenangan, maka dia akan bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya. Dan hal tersebut tidak akan menjadi milik seorang pun kecuali orang mukmin.” (HR. Muslim no.2999. Dari Shuhain rodhiyalloohu’anhu)

Yaa Zauji..

Apakah yang saat ini sedang engkau lakukan? Semogalah engkau adalah seorang ikhwan (laki-laki) yang sedang bersemangat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan bertaubat dari dosa-dosamu. Kembali kepada fitrahmu sebagai manusia yang bejiwa hanif, memperbaiki diri detik demi detik sebagai bekal meninggalkan kampung penuh penipuan dan bersiap-siap menuju kampung kekekalan.

Hingga pada saat kita dipertemukan oleh-Nya (Nazhor) di tempat dan waktu yang tepat, engkau tidak lagi mempermasalahkan fisik, harta, suku, latar belakang dan kondisiku. Sifatmu yang jujur, sederhana dan bijaksana-lah yang akhirnya menjadi sebab utamaku dalam memilihmu sebagai pendamping hidupku.

Dari segi fisik, mungkin orang mengatakan aku tak serasi untukmu. Dari segi suku dan keturunan, mungkin orang mengatakan aku tak sekufu denganmu. Dari segi latar belakang dan materi, akupun mungkin tak sebanding dengan apa yang ada pada dirimu. Akan tetapi kelak, semua dapat kau maklumi karena niat baikmu dalam menggapai rumah tangga yang kau inginkan. Kau dasari alasan memilihku dengan pertimbangan agamaku dan agama yang ada padamu (manhaj yang haq, insya Allah). Hingga aku yakin dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam :

”Perempuan dinikahi karena empat hal : karena hartanya, kedudukannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya, namun kedepankan (pertimbangkan) agamanya niscaya engkau akan beruntung” (HR. Bukhari & Muslim).

Dengan sebab itulah, engkau berniat dan bertekad bulat untuk meminangku dengan hamdalah.

Sebagaimana kisah Bilal bin Rabah rodhiyalloohu’anhu, muadzin kecintaan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam, tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap Kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan :

“Saya ini Bilal, dan ini saudaraku. Kami datang untuk meminang. Dahulu kami berada dalam kesesatan kemudian Alloh memberi petunjuk. Dahulu kami budak-budak belian, kemudian Allah memerdekakan…”, kata Bilal.

Kemudian ia melanjutkan,” Jika pinangan kami anda terima, kami panjatkan ucapan Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Dan kalau anda menolak, maka kami mengucapkan

Allahu akbar. Allah Maha Besar.”

Subhanallooh! Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..

Yaa Zauji…

Pada saatnya nanti, jika Allah Ta’ala sudah berkehendak untuk mempersatukan hati kita, maka tak lagi kupermasalahkan maharmu yang dengan penuh kerelaan kau berikan kepadaku. Tidak kita hiraukan lagi bujuk rayu setan akan materi. Hingga engkau dapat memenuhi perintah Allah Ta’ala yang berfirman :

”Dan berikanlah mahar (mas kawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan” (QS. An-Nisaa : 4)

Niat suci kita untuk menuju pernikahan yang barokah meluluh lantahkan hatiku untuk menerima mahar darimu apa adanya, bahkan aku akan mempermudah engkau dalam masalah ini, hingga aku yakin bahwa insyaAllah aku bisa menjadi orang yang tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam :

”Wanita yang paling banyak mendapatkan berkah adalah yang paling ringan maharnya” (HR. Ahmad 145/6,25162, Hakim dan Ibnu Hibban dari Aisyah Rodhiyalloohu’anha)

Dan akhirnya kita berdua makin yakin, bahwa pernikahan kita akan sesuai syari’at, sebagaimana Uqbah bin Amir rodhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah”(HR Abu Dawud (no.2117), Ibnu Hibban (no.1262-al Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no.724)

Dalam membicarakan walimah, engkau serta merta menyetujui usulanku bahwa walimah kita harus Islami. Tidak ada kemungkaran-kemungkaran dalam resepsi seperti tukar cincin, upacara adat, kepercayaan kepada hari baik dan sial dalam menentukan waktu pernikahan, lepas jilbab atau meminimalisir jilbab dengan mencekik leher dan memamerkan lekuk liuk tubuh, mencukur jenggot, mencukur alis mata, meninggalkan sholat wajib, ikhtilat, musik, nyanyian, mengundang biduanita dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.

Karena kita sama-sama tahu bahwa pernikahan adalah gerbang kehidupan rumah tangga yang kita idamkan bersama. Jadi mana mungkin kau tega mengotorinya dengan kemungkaran MESKIPUN HANYA SATU HARI.

Memang benar, kita bagai raja dan permaisuri dalam sehari, tapi sungguh! Jangan sampai berlumuran dosa dihari nan indah itu untuk kemudian menjadi sebab sengsara sepanjang masa. Jangan sampai kita menabung dosa di awal kehidupan rumah tangga, untuk kemudian menuai akibatnya kelak diakhirat. Wal’iyadzu Billah.

Terkemudian, HALAL-lah kita untuk saling mencintai karena Allah Ta’ala. Seketika, penantian kita yang lama itu, akan membebaskan syahwat2 yang selama ini kita pendam, bersamaan dengan meleburnya dosa-dosa kita lewat genggaman jari jemari kita. Saat itulah akan timbul cinta yang berkobar-kobar diantara kita. Detik demi detik, kita akan semakin mengenal satu sama lain, cinta makin subur ditaman hati masing-masing sebagaimana istilah pacaran pasca pernikahan yang sering kubaca dan kudengar selama ini. Pujian demi pujian yang mengekalkan cinta kita mulai bersemi indah.

Namun yaa Zauji…

Aku tahu, bahwa engkau tidak akan membiarkan kita melampaui batas sebagai manusia untuk menikmati cinta itu. Karena kita tahu, ada Allah Ta’ala diantara kita. Dan kita tahu, bahwa tidak ada seseorangpun yang lebih cemburu selain Allah Ta’ala dan tidak ada seseorang yang lebih mencintai pujian selain dari Allah Ta’ala. Karena itulah Dia memuji diri-Nya. Dan tidak ada seseorang yang lebih mencintai alasan selain dari Allah Ta’ala.

Semoga kelak, cinta kita tidak menyamai dan melebihi dari kecintaan kita kepada Allah Ta’ala yang dapat mengurangi keimanan kita, sebagaimana rasa takut kita akan firman-Nya :

”Katakanlah jika bapak-bapak kalian, anak2 kalian, saudara2 kalian, ISTRI-ISTRI kalian, keluarga kalian, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah LEBIH kamu CINTAI daripada ALLAH dan Rasul-Nya dan dari berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik” (QS. At-Taubah : 24)

Dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam :

”Tidaklah salah seorang dari kalian beriman sampai aku lebih kalian cintai dari anaknya dan kedua orang tuanya dan seluruh manusia”(diriwayatkan oleh Bukhari no.10 dan Muslim no.44)

Karenanya yaa Zauji..

Kelak, malam-malam yang indah itu akan engkau hiasi dengan membangunkanku disepertiga malam terakhir dengan lembut dengan atau tanpa percikan air diwajahku. Kau ajak aku sholat malam bersamamu dengan alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memporak-porandakan taman hatiku, meluluh lantakkan jiwaku dan menghanyutkan aku akan kecintaanku pada Allah Ta’ala. Aku ingin sekali mengamalkan sunnah Rasululloh Shallallahu’alaihi wa Sallam bersamamu, yaitu :

”Allah merahmati laki-laki yang bangun diwaktu malam dan sholat kemudian membangunkan istrinya (sholat pula), jika istrinya menolak ia percikkan air kewajahnya. Dan Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun malam kemudian sholat dan membangunkan suaminya (sholat pula), jika ia menolak, ia percikkan air kewajahnya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim.)

Subhanallooh! Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..

Yaa Zauji..

Kuharap engkau adalah laki-laki penyabar dan dapat menghadapi kondisi emosionalku sebagai istri. Saat aku marah, saat aku salah, engkau meluruskanku dengan cara yang sangat baik dan lembut. Karena kutahu, engkau senantiasa ingin beribadah dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yang bersabda :

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita yang baik. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah kepada wanita dengan baik.” (Hadist shohih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.5185-5186) dan Muslim (no.1468 (62)), dari Abu Hurairoh rodhiyalloohu’anhu)

Dalam riwayat Tirmidzi, Rosulullooh Shollalloohu’alaihi wa Sallam bersabda :

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap kaum wanitanya (istri, saudara wanita atau anak-anak wanita”

Allah Ta’ala berfirman :

“…Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya” (QS. An-Nisaa’:19)

Dan saat engkau marah, sementara aku ikut terbawa emosi, maka engkau mengajakku untuk berlindung kepada Allah Ta’ala, berwudhu, dan sholat dua rokaat. Apabila kita sedang berdiri, maka kita duduk, apabila kita sedang duduk, maka kita berbaring, atau salah satu dari kita akan mencium, merangkul dan menyatakan alasan kita. Apabila salah satu diantara kita berbuat salah, maka kita akan saling memaafkan karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala semata.(Fiqhut Ta’amul bainaz Zaujani)

Lantas kita mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan tidak menceritakannya kepada orang lain. Saling instropeksi, menyadari kesalahan masing-masing dan saling memaafkan serta memohon kepada Allah Ta’ala agar senantiasa disatukan-Nya hati kita, dimudahkan urusan dalam KETAATAN KEPADA-NYA, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangga kita.

Betapa indahnya menjadi bunga ditaman hatimu yaa Zaujii…

Yaa Zauji…

Aku tahu bahwasanya aku memiliki hak yang seimbang dengan kewajibanku menurut cara yang ma’ruf, kecuali satu perkara yang diungkapkan oleh Allah Ta’ala : ”akan tetapi para suami memiliki satu tingkat lebih tinggi dari isterinya” (QS. Al-Baqoroh :228)

Karenanya yaa Zauji, aku teringat dengan Ibnu Abbas rodhiyalloohu’anhuma :”Sesungguhnya aku berhias diri untuk isteriku sebagaimana ia menghias diri untukku” (Tafsir Ibnu Jarir ath-Thahari (II/453))

Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda :”Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas isteri-isteri kalian dan isteri-isteri kalian juga memiliki hak atas kalian” (Hasan, HR At-Tirmidzi (no.1173) dan Ibnu Majah (no.1851))

Dan sebagai pemimpin rumah tangga, engkau akan senantiasa berusaha untuk memenuhi hak-hakku sebagai istrimu tanpa melihat apakah hak-ku sudah terpenuhi atau belum, karena kutahu, engkau sangat menginginkan kelanggengan cinta dan kasih sayang diantara kita, sebagaimana engkau juga akan selalu berusaha untuk tidak memberikan kesempatan sedikit pun bagi syaithan yang selalu ingin memisahkan kita berdua.

Engkau memberiku makan apabila engkau makan,

Engkau memberiku pakaian apabila engkau berpakaian,

Engkau tidak akan memukul wajahku,

Engkau tidak akan menjelek-jelekkan diriku, dan

Engkau tidak akan meninggalkanku melainkan didalam rumah (yakni tidak berpisah tempat tidur melainkan didalam rumah)

Aku yakin bahwa meskipun engkau hidup pas-pasan, engkau akan tetap memberiku nafkah menurut kemampuanmu. Allah Ta’ala berfirman : ”..Dan orang-orang yang terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Tholaq : 7)

Dengan keimanan dan ketaqwaanmu, engkau tidak pernah berputus asa dalam mencari rizki. Berikhtiar dan bertawakkal (menggantungkan harapan) hanya kepada Allah Ta’ala, sebagaimana perintah Rasulullah Shollallahu’alaihi wa Sallam :

”seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sungguh-sungguh, maka sungguh kalian akan diberikan rizki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan kepada burung. Pagi hari burung itu keluar dalam keadaan kosong perutnya, lalu pulang disore hari dalam keadaan kenyang.” (Shahih, HR at-Tirmidzi (no.2344), HR Ahmad (I/30), Ibnu Majah (no.4164). Dari Umar bin al-Khaththab rodhiyalloohu’anhu)

Dengan "wara"-mu, engkau senantiasa memperhatikan rizki-rizki yang halal dan thoyyibah, untuk diberikan kepadaku dan anak2 kita kelak. Bukan dengan cara-cara yang tercela dan dilarang oleh syari’at Islam yang mulia. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima dari sesuatu yang haram.

Semoga Allah memberikan ganjaran atas nafkah yang engkau berikan kepada keluarga yang kau cintai, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam : ”..Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau berikan kemulut istrimu akan mendapat ganjaran.” (Shahih, HR Al-Bukhari (no.1295( dan Muslim (no.1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqosh rodhiyalloohu’anhu.

Yaa Zauji,

Aku memilihmu karena agama yang ada pada dirimu. Aku memilihmu karena aku tahu bahwa engkau akan senantiasa menjagaku dan anak-anakku kelak dari api Neraka. Kau ajarkan aku untuk taat dan bertakwa kepada Allah ’Azza wa Jalla dan mentauhidkan-Nya serta menjauhkan syirik, mengajarkan kepadaku tentang syari’at Islam, dan tentang adab-adabnya.

Sungguh, betapa engkau telah membawaku teringat dan bergetar saat engkau menasehatiku sambil membawakan firman Allah Ta’ala :

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar dank eras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)

Karenanya, engkau senantiasa mengajarkan aku dan anak2 kita kelak mengenai Dienul Islam, mengajarkan kebaikan dan adab-adab Islam. Mengajak untuk senantiasa mendatangi majelis-majelis ilmu yang mengajarkan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mendengarkan apa yang disampaikan, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Hingga cita-citaku dan keinginanku tuk menjadi BUNGA DITAMAN HATIMU sebagaimana Khodijah Radhiyallahu’anha menemani Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam sepanjang hidupnya dapat aku amalkan perlahan-lahan dengan bimbinganmu.

Wallahi… Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzdzibaan..

Yaa Zauji…

Kelak akan engkau ajarkan pula aku untuk senantiasa berbakti kepada Orang Tua kita untuk menggapai ridho Allah Ta’ala. Birrul walidain (berbakti kepada orang tua) yang merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Karena dalam Al-Qur’an, setelah memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua kita, sebagaimana perintah-Nya :

“Dan Robb-mu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada IBU-BAPAK. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai BERUSIA LANJUT dalam PEMELIHARAANMU, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Ya Robb-ku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil” (QS. Al-Isroo : 23-24)

Yaa Zauji,

Betapa aku akan sangat taat kepadamu dengan segala ketaatan dan ketakwaanmu kepada Allah Ta’ala dan ketaatanmu kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam. Hingga andaikata Allah Ta’ala tidak melarangku untuk bersujud kepada selain-Nya, maka engkaulah tempatku untuk bersujud memohon Surga…

”Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (Hasan Shahih, HR at-Tirmidzi (no.1159), Ibnu Hibban (no.1291) dan Al-Baihaqi (VII/291) dari Abu Hurairah rodhiyalloohu’anhu)

Yaa Zauji..

Temanilah diriku sampai matiku nanti, layaknya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menemani ummul mukminin Khadijah Radhiyallahu’anha. Dampingi aku dalam melaksanakan amanah rumah tanggaku. Sesungguhnya, sebagai kepala keluarga engkau akan ditanya dihadapan Allah Azza wa Jalla tentang pertanggungjawabanmu atas diriku sebagai istrimu. Juga anak-anak dan rumah tangga sebagai beban pundakmu. Mari kita pikul dengan bahu kesetiaan, genggaman kuat ketakwaan kita dan kucur keringat amal ibadah kita.

Yaa Zauji, aku yakin dan optimis bahwa kita pasti mampu, insyaAlloh…

Yaa Zauji..

Sungguh begitu indah memilikimu dalam mitsaqon gholizho ini kelak… maka bagaimana aku tidak akan memperhatikanmu, sementara engkau adalah surga dan nerakaku, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam : “Perhatikanlah sikapmu terhadapnya (suami), karena ia bisa menjadi surgamu dan nerakamu”

(HR. Ibnu Saad, Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’us Shoghir (1590))

Yaa Zaujii…. Karenanya…

”JADILAH SURGA DITAMAN HATIKU…”

Semoga Allah Ta’ala segera mempertemukan kita dan senantiasa mempermudah urusan kita dalam mitsaqon-gholizho (perjanjian yang sangat berat) kelak. Amin

Wassalamu’alaykum warohmatulloohi wabarokaatuh

Posted by Ry Shafa in Cinta Keluarga.